WartaJuara.Com – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sedang dinantikan oleh publik. Gugatan dengan nomor 114/PPU/XX/2022 tersebut mempertanyakan Pasal 168 yang mengatur sistem pemilu. Enam pemohon, antara lain Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Kabar mengenai MK akan mengabulkan gugatan tersebut dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup diungkapkan oleh Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham).
Denny tidak merinci sumber informasi tersebut. Sebagai seorang pakar hukum tata negara, ia hanya memastikan bahwa kabar tersebut didapat dari informan yang kredibel dan dapat dipercaya, bukan dari hakim MK. “Informasi yang saya terima sangat kredibel dan oleh karena itu, patut dipercaya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menyampaikannya kepada publik sebagai bentuk pengawasan agar MK berhati-hati dalam mengambil keputusan atas perkara yang sangat penting dan strategis,” kata Denny dalam keterangannya, Selasa (30/5/2023).
Namun, MK membantah kabar tersebut. Juru Bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan bahwa proses persidangan terkait gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mempertanyakan sistem pemilu belum selesai dan masih berlangsung. “Yang pasti, berdasarkan jadwal sidang terakhir kemarin, penyerahan kesimpulan para pihak akan dilakukan pada tanggal 31 Mei mendatang,” kata Fajar saat dimintai tanggapannya, Minggu (28/5/2023).
Selanjutnya, proses persidangan akan memasuki tahap putusan oleh majelis hakim. Fajar menyebutkan bahwa jadwal sidang putusan belum ditetapkan. “Setelah itu, perkara akan dibahas dan keputusan akan diambil oleh Majelis Hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Kemudian, dijadwalkan sidang pengucapan putusan,” ujarnya. Fajar menambahkan bahwa jadwal sidang putusan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut akan diumumkan melalui situs resmi MK, mkri.id. Meskipun MK membantah bocornya putusan uji materi terkait sistem pemilu, banyak pihak yang telah mengomentari kabar tersebut. Beberapa pihak menolak perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Lalu, apa sebenarnya perbedaan antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup?
Sistem proporsional terbuka :
Adalah sistem yang saat ini digunakan dalam pemilu di Indonesia. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota legislatif di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. Ketentuan mengenai sistem pemilu legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 168 Ayat (2). “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka,” demikian bunyi pasal tersebut. Melalui sistem proporsional terbuka, pemilih dapat secara langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu.
Sistem proporsional tertutup
Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, tetapi hanya partai politik peserta pemilu. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian caleg.
Sementara itu, partai politik yang menentukan siapa calon anggota legislatif yang terpilih. Nama-nama caleg disusun oleh partai berdasarkan nomor urut. Calon yang terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Misalnya, jika partai memperoleh dua kursi, maka calon yang terpilih adalah calon nomor urut 1 dan 2. Sistem pemilu proporsional tertutup pernah digunakan dalam Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.
Sumber : Kompas