WartaJuara.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim merayakan Hari Anti Tambang dengan menggelar aksi. Sebagai bentuk refleksi sekaligus mengingatkan pemerintah akan daya rusak tambang batu bara.
Organisasi non pemerintah ini menilai, hingga hari ini Kaltim masih mengandalkan batu bara sebagai komoditas utama. Sementara sistem ekonomi yang mengandalkan eksploitasi besar-besaran ini justru menyiksa rakyat Kaltim sendiri. “Bahkan cara kerjanya melanggengkan praktik koruptif dan intimidatif. Kami sebut ini ekstraktivisme,” ujar Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim.
Sebagai konsep ekonomi, aktivitas tambang di Kaltim harus dibayar mahal dengan adanya kriminalisasi, pencemaran hingga kematian di lingkar pertambangan. Sementara pemerintah justru seperti memberi ‘karpet merah’ terhadap ekstraktivisme. Berbagai aturan dibuat pemerintah pusat untuk memuluskan aktivitas pertambangan.
“Pada sisi lain, agenda pembangunan negeri ini mengarah pada pembongkaran dengan dalih ekonomi berkelanjutan. Padahal jelas-jelas justru makin membangkrutkan Indonesia,” tegas Eta, sapaan akrabnya.
Jatam Kaltim mencatat berbagai persoalan mencuat akibat aktivitas tambang batu bara. Sebaran banjir di Kaltim makin meluas diyakini karena kepungan 5,3 juta Ha konsesi pertambangan batu bara. Celah korupsi dengan menyelewengkan dana jaminan reklamasi baru-baru ini juga terungkap.
Belum lagi mangkraknya sejumlah kasus tambang batu bara tanpa izin, penggunaan jalan publik dan pelabuhan ilegal bagi pengangkutan batu bara tidak pernah ditangani dengan baik. Belum lagi soal hilangnya nyawa yang tak kunjung mendapatkan keadilan. Belum lagi angka kecelakan kerja bagi buruh di lingkar tambang dan kekerasan pada perempuan dan anak juga menjadi corak dalam rentetan tragedi kemanusian yang makin marak dalam pemberitaan.
“Maka kami mengingatkan agar Pemprov Kaltim bisa mendorong perubahan kebijakan terkait masalah yang muncul,” tuturnya.
Sementara itu, juga cukup banyak upaya penolakan warga di Kaltim terhadap aktivitas keruk emas hitam ini. Eta mencontohkan seperti kelompok warga di RT 24 Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara (Kukar) yang membuat kebun pisang di lahan pascatambang. Sekaligus sebagai usaha mereklamasi, karena muak menunggu pemerintah dan perusahaan yang menjalankan.
Desa ekowisata dibangun anak muda di Sumber Sari, Kukar agar tambang tidak masuk ke desa mereka. Warga lebih memilih ekonomi sayur sawi dan bibit ikan nila. “Berbagai penolakan juga dilakukan warga Batu Kajang dan Muara Kate serta masyarakat Merangan, Loa Sumber yang menolak angkutan tambang batu bara melintas,” tuturnya.
Kondisi tersebut menegaskan, bahwa tidak seluruh warga Kaltim merasakan dampak positif dari hadirnya tambang. Jatam Kaltim sendiri pada peringatan Hari Anti Tambang memastikan terus menyerukan perbaikan dan pemulihan lingkungan secara menyeluruh.
“Pemprov harus bertanggungjawab atas seluruh masalah yang terus bertambah akibat tidak berjalannya sejumlah peran pemerintah. Serta kami terus menuntut agar para pihak bisa menjalankan mandat rakyat,” tandasnya. (bct)