Close Menu
WartaJuara.com
  • ADVETORIAL
    • KPU KALTIM
    • KPU KUKAR
    • DPRD SAMARINDA
    • DISKOMINFO KUKAR
  • EKONOMI
  • HIBURAN
  • INSPIRASI
  • SPORTS
  • IT
  • POLITIK
  • BUKU
  • TOKOH
  • SEJARAH
What's Hot

Desa Kedang Ipil Terus Hidupkan Budaya Warisan Leluhur “Nutuk Beham”

Mei 13, 2025

Kelurahan Melayu Fokus Pemenuhan Gizi Ibu Hamil dan Menyusui Lewat Posyandu

Mei 13, 2025

Kuota Rumah Subsidi bertambah Ketua DPD REI Jambi Apresiasi Kinerja Menteri PKP

Mei 13, 2025
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Pedoman Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Sitemap
Facebook Instagram YouTube TikTok
WartaJuara.comWartaJuara.com
  • ADVETORIAL
    • KPU KALTIM
    • KPU KUKAR
    • DPRD SAMARINDA
    • DISKOMINFO KUKAR
  • EKONOMI
  • HIBURAN
  • INSPIRASI
  • SPORTS
  • IT
  • POLITIK
  • BUKU
  • TOKOH
  • SEJARAH
WartaJuara.com
You are at:Home » Data : Pada akhirnya manusia pun melihat diri dan sesamanya sebagai data.
OPINI

Data : Pada akhirnya manusia pun melihat diri dan sesamanya sebagai data.

adminBy adminJuni 1, 2023
Facebook Twitter Telegram WhatsApp
E.T. the Extra-Terrestrial.
Share
Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Penulis : Goenawan Mohammad ( Goenawan Soesatyo Mohamad adalah seorang sastrawan dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Ia juga salah seorang pendiri majalah Tempo. )

Kita perlu alien. Kita perlu Krypton.  Kita perlu imajinasi tentang mahluk yang bukan kita, dunia yang bukan planet kita.

Saya tak tahu kenapa para pengarang fiksi-ilmu sampai membayangkan manusia menjangkau ke antah berantah itu. Semula, ketika Johannes Kepler menulis “Somnium” pada 1634—tentang perjalanan mimpi ke bulan—dan Elon Mask mendirikan perusahaan SpaceX pada 2002 —-dengan rencana menyiapkan teknologi untuk hidup di angkasa luar—manusia tampak didorong rasa ingin tahu dan ingin mencoba kesanggupan.

Tapi zaman berubah. Kita perlu “mereka”, alien, karena ilmu dan teknologi makin membuka banyak tabir. Dari film seperti “Close Encounter” kita bangun imajinasi tentang penghuni galaksi lain— yang umumnya dibayangkan berkepala mirip  kacang mete dan matanya mirip mata kancil. Tapi kita, seperti si bocah yang berteman dengan E.T. dalam film itu, tak mentertawakan mereka. Manusia makin melihat dirinya bukan tauladan.

Jika kita baca dongeng Yunani dan kitab-kitab suci, manusia adalah tauladan, amat dekat dengan  yang maha akbar. Menurut Homeros, para dewa ikut sibuk intervensi dan memihak dalam Perang Troya—seperti penghuni negeri tetangga.

Di zaman sesudah itu, di abad ke-16, Michelangelo melukis manusia dan Tuhan  begitu akrab di langit-langit Kapela Sistina di Vatikan: Tuhan mirip lelaki tua yang ganteng dengan lengan berotot menjangkau Adam. Bahkan karya itu mengandung cerita lebih. “Neurosurgery”, sebuah jurnal ilmiah, dalam nomor Mei 2010 memuat hasil penelaahan dua pakar anatomi syaraf yang menemukan bahwa Michelangelo melukiskan sel otak dan syaraf mata manusia dalam gambar tubuh Tuhan.

Keyakinan akan kehebatan itu tak terbatas di Eropa. Di Jawa abad ke-18, Yasadipura I menulis “Serat Cabolek” tentang perjalanan Bhima yang berhasil menemui Dewa Ruci di tengah lautan. Kesimpulannya: manusia “tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dhéwé saking kang dumadi…” (manusia ditakdirkan lebih dari semua makhluk). Dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, Pramoedya Ananta Toer meneruskan keyakinan yang sama: baginya, manusia, dengan ilmu dan teknologinya, “lebih agung” ketimbang sekitarnya.

Pandangan ini kini tak begitu meyakinkan lagi. Sains—yang oleh Pramoedya dan kaum Positivis diletakkan sebagai pemandu sejarah modern—justru tak melanjutkan gambaran ke-“agung”-an manusia. Dengan kemajuan teknologi teleskop Hubble kita tampak hanya menghuni sebiji planet kecil di satu galaksi, sementara ada dua trilyun galaksi bertebaran dalam keluasan semesta. Manusia  bukan pusat.

Di tahun 1873 Nietzsche sebenarnya telah menunjukkan posisi itu:

“Pada suatu hari, di sebuah tempat jauh di sudut alam semesta yang tertebar  dalam tata surya berkelip yang tak terhitung jumlahnya, ada sebutir bintang di mana hidup hewan pintar yang menemukan ‘pengetahuan’.  Itulah menit yang paling pongah dan dusta dari “sejarah dunia”—tapi, ya, hanya satu menit.  Setelah alam menarik nafas, bintang itupun jadi dingin dan mengeras, dan si makhluk pintar harus mati.”

Agaknya itulah sebabnya kini kita perlu alien: untuk menertawakan kepongahan kita, seperti—menurut Nietzsche—kita menertawakan monyet.

Nietzsche memang  jengah melihat besarnya pengaruh Humanisme di abad ke-18 dan 19. Dalam pandangan Humanisme, manusia adalah kesadaran yang melampaui jasadnya sendiri. Dengan kesadaran atau rasionalitasnya, manusia merupakan  subyek yang meng-ada-kan obyek, yakni dunia. Sains, teknologi, modal memungkinkan itu.

Tapi abad ke-20 datang, dan subyek itu ternyata juga mencederai hidupnya sendiri. Modal yang dengan pintar dikalkulasi dan diperbesar, menimbulkan ketimpangan sosial. Sains dan teknologi yang membawa perbaikan hidup juga dipakai untuk membuat senjata pemusnah massal dan mekanisasi yang merusak lingkungan.

Marx dan Engels, dalam “Manifesto Komunis”, pernah bersorak untuk dunia yang berubah dahsyat, biarpun itu oleh kaum borjuis yang pintar menghitung dan menghasilkan. Marx mengagumi kedahsyatan itu, sebagaimana di masa muda ia mengagumi Prometheus, makhluk setengah dewa yang dalam dongeng Yunani mencuri api Kahyangan untuk diberikan kepada manusia. Api itu energi, dan manusia pun jadi penakluk.

Tapi kemudian Engels sendiri memperingatkan, “tiap kemenangan melahirkan pembalasan”. Alam ditaklukkan dan ternyata juga dirusak. Kerusakan itu mengingatkan bahwa manusia telah “menguasai alam seperti penakluk menguasai bangsa asing”—seakan-akan manusia “berdiri di luar alam”.

Di abad ke-21, agaknya perlu ada peringatan tambahan: manusia tak hanya seakan-akan berdiri di luar alam, tapi juga di luar diri sendiri. Ia membangun sebuah universum digital yang kian meluas; ada yang menghitung, di tahun 2020, semesta digital itu akan 44 kali lebih besar ketimbang di tahun 2009.

Dalam proses itu, data praktis segala-galanya.

Pada akhirnya manusia pun melihat diri dan sesamanya sebagai data. Kita belum tahu bagaimana kita akan menghargai kemerdekaan, kreatifitas, cinta, humor, dan apa yang tak terduga-duga dalam “data” itu — kalau masih ada.

Maka kita perlu alien. Kali ini bukan untuk meletakkan manusia dalam tatapan  pasca-humanis, tapi untuk melihat jangan-jangan ada yang-lain: kehidupan yang tak bisa jadi data.

Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp
Previous ArticleAlbum Terbaik Coldplay Sepanjang Masa: Menelusuri Karya Musik yang Menginspirasi Jutaan Pendengar
Next Article AS Mulai Panik, Ajak PBB Meeting Karena Peluncuran Satelit Korea Utara
admin
  • Website

Related Posts

Kinerja Gemilang Kementerian Agama dalam Layanan Haji: Meningkatkan Kesejahteraan Jamaah Lansia

Juni 24, 2024 News

Fenomena Mark A.Gabril dan AS

Mei 31, 2024 OPINI

Pemanasan Global: Ancaman Nyata yang Harus Dihadapi

September 13, 2023 OPINI
Leave A Reply Cancel Reply

Latest Posts

Desa Kedang Ipil Terus Hidupkan Budaya Warisan Leluhur “Nutuk Beham”

Mei 13, 2025

Kelurahan Melayu Fokus Pemenuhan Gizi Ibu Hamil dan Menyusui Lewat Posyandu

Mei 13, 2025

Kuota Rumah Subsidi bertambah Ketua DPD REI Jambi Apresiasi Kinerja Menteri PKP

Mei 13, 2025

Anggota DPRD Kaltim Ditangkap Kejati DKI Jakarta, Terlibat Korupsi Proyek Fiktif PT Telkom

Mei 13, 2025
@wj_news
Don't Miss

Desa Kedang Ipil Terus Hidupkan Budaya Warisan Leluhur “Nutuk Beham”

By adminMei 13, 2025

Kukar – Kepala Desa (Kades) Kedang Ipil, Kuspawansyah menyebutkan, ritual adat Kutai Adat Lawas, Nutuk…

Mengenal Tokoh Spiritual Sepanjang Masa : Al Jalaluddin Rumi

Maret 22, 2022

Miguel Oliveira : Dokter Gigi Juara GP Mandalika 2022

Maret 23, 2022
Stay In Touch
  • Instagram
  • YouTube
  • TikTok
About Us
About Us

Informasi mencerdaskan dan aktual, memberikan perspektif baru dalam melihat dunia.

Email Us: wartainovasidigital@gmail.com

Facebook Instagram YouTube WhatsApp TikTok
© 2025 WartaJuara.COM | PT. Warta Inovasi Digital.
  • Pedoman Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Sitemap

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.