Junta militer baru Niger mengakhiri perjanjian militer dengan Prancis dan menarik duta besar untuk Prancis, AS, Togo, dan Nigeria. Pengumuman itu memperdalam isolasi pascakudeta terhadap negara itu, yang pernah menjadi mitra keamanan penting terakhir AS dan para sekutu di Sahel.
Kelompok tentara pemberontak Niger menghadapi tenggat pada Minggu untuk membebaskan dan memulihkan posisi Presiden Mohamed Bazoum. Tenggat itu ditetapkan blok regional ECOWAS, yang utusan-utusannya tiba pada Kamis untuk membicarakan perkembangan situasi di sana.
Namun pembicaraan itu segera terhenti, karena delegasi tersebut tidak dapat bertemu pemimpin kudeta Jenderal Abdourahamane Tchiani, atau menuju ke Ibu Kota, Niamey.
Pengumuman junta itu menimbulkan keraguan lebih jauh mengenai tercapainya kesepakatan apa pun.
Junta mengatakan mengakhiri perjanjian dan protokol militer yang ditandatangani dengan Prancis dan mengumumkan diakhirinya tugas duta besar Niger untuk Prancis, AS, Togo, dan Nigeria.
“Semua agresi atau upaya agresi terhadap negara Niger akan menghadapi tanggapan langsung dan tanpa peringatan,” kata juru bicara pemimpin kudeta, Amadou Abdramane, dengan perkecualian Mali, Burkina Faso dan Guinea, yang menyatakan dukungan bagi kudeta.
Mali dan Burkina Faso telah menyatakan bahwa intervensi semacam itu akan dianggap sebagai pernyataan perang terhadap mereka.
Kebijakan baru junta itu merupakan langkah besar dari kebijakan sebelumnya, yang telah bekerja sama dengan Prancis dalam memerangi ekstremis Islam di Sahel. Pengumuman itu juga merupakan pukulan bagi AS, yang mengandalkan Niger sebagai salah satu sekutunya yang paling penting di Afrika.
Keputusan junta itu kemungkinan akan memperburuk krisis di Niger, yang telah dilanda oleh kekerasan ekstremis Islam selama bertahun-tahun. Kebijakan baru junta itu juga dapat membuat negara itu lebih mudah diserang oleh kelompok-kelompok ekstremis.
sumber : VOA Indonesia