WartaJuara.com – Masyarakat adat kerap terabaikan bahkan tak dipandang sebagai subjek dalam pembangunan. Berbagai gagasan bermunculan terkait pelestarian masyarakat adat, khususnya di Kaltim. Termasuk dari bakal calon wakil gubernur yang akan bertarung di Kaltim.
Hadi Mulyadi dan Seno Aji memiliki langkah yang berbeda terkait upaya perlindungan terhadap masyarakat adat. Keduanya mengapungkan argumentasi masing-masing dalam acara Dialog Kebudayaan yang digelar PWNU Kaltim, Kamis (5/9/2024) di Rektorat Unmul.
Hadi Mulyadi yang merupakan wakil gubernur petahana menyebut, perlindungan masyarakat adat sudah dijalankan Pemprov Kaltim sejak dulu. Bahkan pengakuan terhadap masyarakat adat sudah terwujud di Desa Muluy, Kabupaten Paser. “Kurang lebih ada 7.700 hektar hutan yang telah ditetapkan menjadi hutan adat,” ujar Hadi dalam forum diskusi tersebut.
Untuk wilayah lain, Hadi menyebut saat ini sedang berproses. Dari Kutai Barat dan Mahakam Ulu, Kutai Timur juga di Berau semua sedang antre menunggu pengesahan Pemerintah Pusat. Politikus Partai Gelora ini juga sudah meminta pemerintah kabupaten/kota untuk bisa memonitor upaya perlindungan masyarakat adat dengan baik. “Termasuk melihat permintaan langsung dari daerah untuk penetapan masyarakat adatnya,” bebernya.
Bahkan indeks pembangunan kebudayaan di Kaltim sudah di atas angka nasional. Hal ini disebabkan Kaltim sudah menjalankan seluruh skema pengarusutamaan kebudayaan. “Jadi sebenarnya kami sudah jalankan ini sejak dahulu,” sebut Hadi.
Namun menurut Hadi, yang menjadi tantangan selama ini adalah sulitnya melengkapi administrasi untuk pengakuan masyarakat adat. Sehingga prosesnya kerap berjalan lambat, bahkan sampai menghabiskan waktu bertahun-tahun. “Sebenarnya banyak daerah yang mengusulkan, tapi memang prosesnya panjang dan administrasi yang sulit,” tuturnya.
Sementara itu, Seno Aji memiliki pandangan berbeda menganai upaya perlindungan masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat memiliki tata kelola lingkungan sendiri. Maka pemerintah seharusnya bisa memberikan pengakuan terhadap aktivitas yang mereka lakukan. “Seperti memastikan wilayah adat mereka, hutan adat dan memelihara budaya mereka,” kata Seno Aji.
Tantangan utama perlindungan masyarakat adat menurutnya, adalah eksploitasi sumber daya alam. Seperti perkebunan sawit dan tambang batu bara kerap bersinggungan dengan pemukiman masyarakat adat. “Kemungkinan itu tetap ada di tengah masyarakat adat. Jadi perlu ada untuk mesinergikan persoalan ini,” ucapnya.
Caranya, lanjut Seno, bisa dengan membuat kebijakan untuk memastikan perusahaan saat beroperasi tidak mengganggu wilayah adat. Aturan tersebut juga harus dibuat tertulis dan ditetapkan secara sah menjadi payung hukum. “Jadi bentuknya sebuah kewajiban bagi tiap perusahaan yang akan beroperasi di Kaltim,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, sejauh ini sebenarnya Kaltim sudah memiliki peraturan daerah (perda) mengenai masyarakat adat. Hanya saja pada aturan lebih tinggi hanya mengacu pada UU no 5/2017 tentang Kemajuan Kebudayaan. Sehingga perlu ada aturan yang lebih kuat lagi. “Masih menunggu kepastian UU Masyarakat Adat disahkan, biar lebuh spesifik lagi,” tandasnya. (bct)